Rabu, 09 Februari 2011

cerpen2

sm ky sblm’y. bkn aku yg buad lo yya…. ni cm hsil cpy pste dr google. hbs aku sk cerpen yg sdih2. mk’y skyn jd koleksi d blogku na..

tp cerpen yg ini, aku lp jdul’y.. gpp yya???

1

Sunyi. . . ya sunyi sekali malam ini, tumben ga da suara kincir angin yang biasanya membuat bising telingaku, atau suara gemuruh katak yang ga pernah berhenti menemani malam sepiku. Mungkin karena gemuruh itu khas dengan telingaku, walau sepi tapi seakan terdengar jelas menemani kesendirian dalam lamunanku. Dingin. . . ya dingin yang ku rasa, tapi semilir angin ini tak mampu gerakkan kincir yang binasakan sunyi disekitar rumahku. Rumah yang katanya sejuk. Jelas sejuk, karena rumahku dikelilingi persawahan yang jauh dengan keramaian kota. Terlintas tak sengaja ada bayangan sosok pria yang telah lama pergi jauh dariku. Ku coba kedipkan mata dengan cepat, karena ku tak ingin mengingatnya, ku tak mampu merasakan sakitnya, atau bahkan melihat raut kecewa diwajahnya. Ku coba lupakan semua rasa bersalah dan penyesalan dengan memikirkan hal lain, tetap saja sulit. Huft. . . . Lenyaplah. . . Hilanglah. . . Dan lupakan lagi. . . HPku berdering, dengan nomor pemanggil yang baru, yang aku ga tau itu nomor siapa ? Ku coba biarkan, hingga aku larut dalam lamunanku lagi. Tapi HPku terus berdering. Akhirnya ku angkat dengan semua rasa kesalku. Tapi tiba-tiba telponnya dia matikan. Aku semakin kesal. HPku berdering lagi, kali ini ada sms baru, ya dengan nomor tadi. "Aku tunggu Kamu besok di Taman biasa jam 4 sore. REMI.". Teringat jelas dalam ingatanku namaku, REMI. . . ya sosok itu yang barusan terlintas dalam benakku. "firasat apa ini. . . ?". Tanyaku dalam batin. Sudahlah. . . Ku hadapi saja walau sangat menakutkan bertemu dengannya, bahkan melebihi bertemu dengan Drakula, Vampire Atau malah Kuntilanak yang suaranya membuat merinding bulu kudukku. Tepat jam 4 kurang 20 menit, aku bergegas bersiap menuju Taman. 15 menit dalam perjalanan akhirnya sampai ditujuan, Taman ini. . . mengingatkanku pada memory bersamanya dulu. Penuh Tawa, Canda bahkan sampai riak Tangisku saat ku memintanya pergi jauh dari kehidupanku, menjauh dari semua kenangan burukku. Satu, dua menit berlalu bahkan satu jam tak terasa menemaniku dalam penantian. Akhirnya dia datang, tak biasanya dia telat seperti ini. Dulu. . . "Assalammualaikum. . . Maaf telat, tadi dijalan macet." Sapanya. . "walaikumsalam. . . Kenapa ga ke rumah ja Mi ? Kenapa mesti di sini ?" "Aku pengen disini, mengenang masa lalu kita, hanya tempat ini yang bisa membuatku nyaman dalam sendiri" "kita ? Sudahlah Mi. . . Semua sudah berlalu, lupakanlah. . . ." "Lupakan ? Semudah itu kau katakan. . . Mungkin aku bisa jauh darimu karena alasan kamu yang memintanya. Tapi aku ga punya alasan tuk ngelupain kamu. Terlalu indah hari yang kita lewati." "Aku tau itu sulit. Tapi cobalah. . . " "berjuta-juta detik tuk lupain kamu tapi ga bisa, beribu-ribu hari tuk lenyapkan kata KENAPA KAMU MEMINTAKU MENJAUH tapi ga berarti." "Aku ingin jelaskan semuanya. . . Tapi aku takut, aku takut kamu marah waktu itu, aku takut kamu jiji sama aku." "jelaskanlah. . . Jika alasanmu benar, aku kan coba mengerti. Percayalah. . . Aku pasti pahami." "baiklah. . . Masih teringat jelas sosok itu, sosok bajingan yang telah hancurkan semua harapanku, yang telah retakkan semua asaku. Ya. . . Malam itu adalah malam paling mengerikan dalam hidupku, yang telah pecahkan mimpiku menjadi kepingan yang tak berarti. Hanya isak tangis yang bisa ku ekspresikan. Jiji. . . Jiji sekali aku dengan ragaku ini. Andai saja tetes air mata mampu sucikan raga yang telah kotor karena syahwat pria bajingan itu, yang sanggup luluhkan kesetiaanku padamu, mungkin aku takkan merasa sehina ini. Sungguh. . . Aku menyesal dengan perselingkuhan itu, yang telah pupuskan semua cita-citaku menjadi istri solehah untukmu. Namun ku coba melupakan semua itu. Semua rasa sakit itu sirna seiring hadirmu yang semakin membuatku tenang. Kamu ingat. . . ? Waktu kamu ngajakin MARRIED. . . Dag Dig Dug jantungku seakan mau meledak, sampai getir nadipun tak mampu menahan haru, seakan gravitasi bumi tak mampu menahanku hingga rasanya semakin jatuh dalam rasa bahagia. Tapi kamu tau ga. . . ? Dari situlah rasa sakit itu dimulai, aku takut jika kamu tau, kalo aku udah ga Virgin saat malam pertama setelah akad nikah terucap. Kamu pasti kecewa. . . Itulah satu-satunya alasan mengapa ku memintamu pergi." Dia termenung dalam diam, entah apa yang dia fikirkan, yang pasti dia pasti kecewa. "De. . . . Mengetahuinya memang menyakitkan bagiku, melupakannya mungkin sulit untukmu, tapi kamu harus tau. . . Ketika jauh dari kamu, hanya petikkan gitar yang selalu menemaniku hingga tumpukan lagu patah hati berserakkan dikamarku. Sampai saat ini masih ada rasa sepi ketika jauh darimu. . . . Aku tak peduli dengan semua itu, walaupun sedikit menyesakkan dada bahkan sempat menghentikan detakkan jantung ketika mendengar penjelasannya. Tapi semua telah terjadi, yang tadinya putih kini telah berubah menjadi hitam, yang tadinya suci kini telah ternodai. Tapi aku terlanjur mencintainmu, dan semua Karena Aku Menunggumu." "Makasih Mi. . . Tapi. . . Lupakan aku. . . Karena ku tak pantas untukmu, ku yakin Tuhan telah siapkan jodoh terbaik untuk kamu." "Dan ku harap itu kamu. . . Kenang semua jika kamu ga mampu lupainnya." "Tapi aku terlalu hina untukmu terlalu menjijikan bagi kamu." "Sudahlah. . . . Enyahkanlah rasa itu, biarkan Tuhan yang menghukummu. Tapi tidak dariku, Karena Aku Menunggumu" Tetes air mata tak sanggup ku bendung, haru dan pilu jadi satu ketika dia ucap mampu terima aku apa adanya. Huft. . . Lega rasanya dia mau maafkan aku. Tapi rasa bersalah itu masih ada, sejujurnya bukan hanya itu alasan ku meminta dia menjauh. Ada satu alasan yang tak mampu ku ungkapkan, karena lidah ini kaku saat berusaha mengatakannya. Satu alasan yang tak mungkin ku jelaskan, ya Allah. . . Apa yang harus aku lakukan ?. Satu jam berlalu, sebelum Adzan magrib dikumandangkan, kami bergegas pulang. Dia sempat menawarkan mengantarku pulang, tapi aku menolak karena aku lebih senang bersepeda sendiri, melewati semilir angin dalam haru yang tak kuasa ku sembunyikan dalam ragu. Ragu. . . Apa dia benar benar menungguku atau hanya ingin balas dendam atas perbuatanku atau bahkan mungkin karma yg Tuhan persembahkan atas kesalahan atau mungkin juga kado dari neraka atas hinanya ragaku ? Entahlah. . . Hanya Allah yang tau. Ditemani harapan baru menuju pondok kecil itu rumahku, dengan goesan kencang aku segera pulang, karena Adzan magrib telah bergema. Setibanya dirumah aku baru ingat, hari ni aku harus chek up. Ya aku AIDS, itu alasan utama ku memintanya pergi dariku. Ya Allah. . . Andai saja dia tau, Apa mungkin dia masi mau menerimaku setelah kesalahan yang lalu. Huft. . . . Berat hatiku mengungkapkan semuanya. **satu tahun berlalu setelah pertemuan itu, kami melewatinya tanpa membicarakan perselingkuhan itu. Dengan satu hal yang pasti belum sempat ku bahas tentang penyakit yang mengerikan itu, yang menggerogoti semua mimpiku untuk menjadi seorang BUNDA, harapan yang tak pernah hilang dalam setiap khayalan kecilku. Aku rindu panggilan itu, tapi mana mungkin harapan itu terwujud, sedangkan untuk melewati Akad Nikah dengan seorang pria pun aku belum sanggup. Masi diselimuti rasa segan dan takut. **"tok tok tok. . . Assalammualaikum. . . " Suara ketukan pintu, tandanya ada tamu, tapi aneh. . . Tumben pagi begini sudah ada yang bertamu. Ku bergegas membuka pintu, terkejut aku melihatnya, bagaimana tidak ? Remi datang bersama ke dua orangtuanya. "wa. . . Walaikum salam" jawabku gemetar. "De. . .Aku datang untuk melamarmu" "melamarku . . . ? Apa secepat ini ?." "sudah lama kita saling mengenal, dari kecil kita selalu bersama, aku mengenalmu jauh dari yang kamu tau, suka duka telah kita lewati bersama. Aku ingin mendampingimu, menjagamu, karena aku tau kamu kesepian semenjak ke dua orangtuamu berpulang ke rahmatullah, dan aku juga tau semenjak itu kamu ga pernah tersenyum. Aku ingin membuatmu tersenyum dipelaminan nanti, ku mohon terimalah semua ini. . . " "A. . . . Aku. . . Seneng kamu ngelamar aku, tapi. . . . " jawabku diiringi getaran nadi dan isak tangis yang meramaikan suasana lamaran itu. "tapi apa De ? Jelaskan padaku ada apa dan kenapa kamu menangis. . . ? Ku mohon jelaskan agar aku mengerti""Aku . . . .AIDS, semenjak kejadian menakutkan itu, aku langsung periksa, karena aku takut hamil, tapi ternyata hasil nya jauh dari dugaanku, aku positif AIDS. Maafkan aku. . . ." belum selesai aku menjelaskan semuanya, ke dua orang tua Remi langsung marah. "APA. . . ? KAMU AIDS. . . APA INI CALON ISTRI YANG BAIK ? UMI GA SETUJU KAMU MENIKAH DENGAN WANITA MURAHAN INI. PULANG KAMU. . . !" Merekapun meninggalkan rumah tanpa pamit. Dengan raut wajah Remi yang sepertinya penuh dengan kekecewaan. Yang hanya bisa diam menuruti kemauan orang tuanya untuk meninggalkanku. Semenjak kejadian itu Remi pun tak pernah memberikan kabar padaku. Lima bulan kemudian, surat undangan pernikahan datang padaku, tak ku kira ternyata itu Remi. Betapa retaknya hati ini sampai hancur berkeping keping. Ya Allah. . . Begitu hinakah aku di muka bumi ini, begitu murkanya kah kau padaku, apa ini karma atas semua perbuatanku ? Ya Allah. . . Aku benci raga ini, aku jiji. . . Rasanya ingin saja ku hembuskan nafas terakhir, tapi apa mungkin kau terima aku di liang lahad jika nanti aku mati. . . ? Astagfirullah al adzim. . . Harusnya aku ga berpikiran kayak gini. Maafkan aku ya Allah. . . . Isak tangis berhenti ketika ku sebut Asma Allah. Tapi jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku bingung. . . Apa aku bisa Tegar ketika ku lihat sosok pria yang aku cintai bersanding dengan wanita lain. Bukan ku tak bahagia melihatnya bahagia, hanya saja aku tak yakin sanggup berdiri tegap dihadapannya. Satu hari sebelum Remi menikah, aku bertekad pindah ke luar kota. Meninggalkan semua kenangan yang ada, kenangan terhina dalam perjalanan hidupku, dengan membawa aib yang mengerikan, yang nantinya ku bawa sampai mati.Pagi sebelum akad nikah terucap, aku hanya mengirimkan pesan singkatku lewat sms. "Mi. . . Aku ga bisa dateng, bukan aku ga mau, tapi aku takut menangis dihadapanmu, karena aku tau kamu benci aku menangis. Satu hal yang harus kamu tau Karena Aku Masih Menunggumu. Devi".

2

Deru tangis tak mampu hapuskan sakit dihati, teriakanpun tak sanggup lenyapkan penat dijiwa, bahkan harumnya bunga takan bisa obati luka yang ada. Kini hanya penyesalan tak berarti merasuk ke dalam dada, dan hanya perih yang hantui setiap malamnya. Dengan getir nadi yang semakin kencang terasa di lengan, menahan pedih ketika menyetir. Aku menatap tajam pemandangan di depan mata, seakan ada kebencian di setiap bayangan yang tercipta. Entahlah. . . Mesti sekencang apa aku teriak, agar semua penat di dada lepas dan terakhiri. Oh Tuhan. . . Karma apa lagi yang harus kuterima atas semua perbuatanku, sungguh aku menyesali semuanya.**2 bulan telah berlalu. Mulai ku tutup semua masa lalu, dan ku buka lembaran baru. Walau kadang masih mengganggu, tapi ku sadar bahwa sanya, sesuatu yang pernah di alami, tak mungkin mudah terlupakan, bukan berarti harus selalu diingat, namun hanya mampu untuk dikenang. Ya kenang. . . Hanya itu yg sanggup ku lakukan. **ku pandangi suasana didepan rumahku malam itu, ku tatap bintang dengan penuh harapan, harapan tuk selalu diam tanpa harus melukai, namun tetap saja hati ini masih perih. Meski kadang ku coba ku lenyapkan, tetap saja luka tak mampu terobati dengan jarak. Karena bayangannya masih sering menghantui, ngiang suaranya masih terdengar jelas ditelingaku. Ku tatap handphone berharap dia masih mengingatku, seperti aku yang tak mampu melupakannya. Berbulan-bulan aku hanya menunggu, tapi tetap saja hasilnya nihil. Padahal aku sadar, kini dia tak lagi sendiri, mungkin hidupnya telah bahagia tanpaku. Kadang dalam kesempatan tertentu, ku deklamasi kan puisi cinta tanpanya, ya. . . Puisi-puisi yang pernah dia ciptakan untukku. Kusimpan rapih lembaran puisi itu dalam box kecil pemberiannya, karena dia tau, aku suka mengkoleksi puisi. Tepat tanggal 4 desember 2009, malam itu, seperti biasa aku duduk di teras, dengan selembar kertas dan bolpoint. Tapi aku masih bingung, entah apa yang akan ku tulis, pikiranku masih kacau sejak pernikahan itu. Tak satu baitpun puisi yang ku tulis. Tapi kali ini, aku benar-benar ingin menyelesaikan satu bait saja puisi, agar aku yakin tanpanya hidupku tak berhenti disini. Hasilnya tetap saja nihil. Akhirnya aku beranjak dari kursi, bersiap masuk dalam rumah. Hp ku berbunyi, pertanda panggilan masuk, ku angkat dengan mata sayup, ngantuk sekali malam itu. Ku dengar salam dari seorang wanita."Assalamualaikum. . .". "walaikumsalam, dengan siapa ya ?". "Maaf mengganggu malam-malam, Aku shinta istri dari Rhemi". Hati ku berdegup kencang, dag dig dug yang ku rasakan, teringat semua rasa sakit itu, ya. . . Hancurnya semua harapanku, seperti puzle yang hancur ketika jatuh, dan banyak sekali bagian puzle yang hilang. "owh. . . Shinta, ada apa ya ?". "bisakah kita bertemu ?". "bertemu ? Untuk apa ?". Banyak hal yang ingin ku sampaikan padamu, tapi tak bisa lewat pembicaraan sekarang". "baiklah jika menurutmu itu penting". "kalau begitu, aku tunggu besok jam 2 siang di cafe indah dekat rumahmu yang dulu". "besok pagi aku kan ke bandara untuk pulang". "terimakasih ya. . . Mau meluangkan waktunya untukku, wassalammualaikum". "walaikumsalam. . . ". Dengan rasa penasaran, banyak pertanyaan yang terlantun dipikiranku. Tapi ku coba hiraukannya, akhirnya ku pejamkan mata berharap tak tercipta mimpi buruk malam ini. Amien. . . .**tepat jam 8 pagi, aku sudah sampai dibandara, sebentar lagi pesawatpun akan lepas landas. Dalam perjalanan, aku masih tak mengerti, Apa maksud pertemuan ini ?, entahlah. . . . 2 jam dalam perjalanan, akhirnya sampai. Kini tinggal melanjutkan perjalanan menuju rumah, yang telah ku tinggalkan selama hampir setahun. Ku kira dengan meninggalkan semua ini, aku mampu meninggalkan semua masa lalu yang pernah merenggut senyuman dan kebahagianku. Tapi nyatanya, hari ini. . . Aku kan bertemu dengan sosok yang pernah menjadi bagian dari masa laluku. Oh Tuhan. . . Rahasia apa lagi ini ?. Sesampainya dirumah, ku pandangi dengan seksama pemandangan rumahku. Masih sama, seperti sebelum ku tinggalkan. Masih terasa udara segarnya, masih terdengar suara kincir angin yang mampu lenyapkan sunyi dalam kesendirianku. Yang membuatku rindu senyumannya, yang selalu menghiasi sepi di rumahku. Perih sekali ku mengingatnya. Langkah demi langkah, ku pijakkan kaki di pondok ini, seiring dengan tetesan air mata yang tak sanggup ku bendung. Ku buka kamarku, masih terpajang foto-foto saat masih bersamanya, tak sanggup ku pandangi semua itu. Akhirnya ku copot satu persatu pajangan itu, ku masukkan dalam kardus, dan ku simpan dalam gudang dibelakang rumahku. Tapi tetap saja, bayang wajahnya masih terlukis jelas dalam jiwa. Ku coba enyahkan, namun sia-sia. Sudahlah. . . . Tepat jam 2 kurang 10 menit, ku berangkat menuju cafe. Akhirnya sampai juga. Ku lihat sosok wanita tengah hamil besar telah duduk menungguku dimeja no 4, tepat dekat jendela. "hai. . . ". Sapanya padaku. "silahkan duduk !". "terimakasih. . .". "sebelumnya aku berterimakasih, karena kamu bersedia meluangkan waktu untuk datang ke tempat ini". Aku hanya diam dan tersenyum. "by the way, bagaimana kabarmu ?". "alhamdulillah seperti yang kamu lihat, sehat. Kamu sendiri ?". Walau sebenernya terpuruk. "sama. . . EMmmm. . . Aku bingung harus memulai dari mana, yang pasti aku cuma minta satu hal, (dengan menggenggam erat ke dua tanganku, dengan raut wajah penuh dengan harapan) aku mohon. . Temuilah Rhemie. . . Dan katakan, kalau kamu membencinya dan kamu telah melupakan kenangan bersamanya, demi janin yang ku kandung saat ini, aku tak peduli sebesar apa kebenciannya padaku selama ini, aku hanya tak ingin, nanti anak kami tau, bahwa ayahnya mencintai wanita lain, ketika dia dewasa nanti. Kamu tau, dia sering memanggilku dengan namamu, bahkan foto kalian berdua, masih terpasang dikamar kami. Sering sekali dia merenung menatap fotomu. Sakit rasanya. . . Apa lagi, dalam mimpinya saja, sering mengigau memanggil namamu. Semakin perih hati ini. Ketika aku tau, banyak lembaran puisi rindu yang tercipta untuk kamu di meja kerjanya. Batin ini sesak Dev, walaupun aku tau, dulu aku tak setuju dengan perjodohan kami, hanya saja waktu itu, aku kagum dengan kesetiaannya padamu, yang membuatku ingin memiliki kesetiaan yang sama darinya. Dan itu yang membuatku bertahan sampai hari ini. Ku mohon. . .". "tapi. . . . ." jawabku dengan gugup. "pikirkanlah lagi. Jika sanggup. . . Temuilah dia, aku pulang ya Dev". Bergegas pergi meninggalkan cafe. Dan akupun pulang. **jujur. . . Aku tak sanggup. Berbohong pada diri sendiri itu menyakitkan, bahkan lebih mengerikan dari penyakit yang aku derita sampai detik ini. Tapi. . . Apa aku setega itu, menyakiti insan yang nantinya akan jadi buah kebersamaan mereka. Namun. . . Jika aku harus berbohong, apa dia akan percaya ?. Sedangkan rasa kita sama. Sama-sama merindu. . . Berat sekali pilihan ini. Aku tak sanggup memilihnya, karena semua pilihan pasti ada yang akan terluka. Huft. . . Letih aku memikirkannya. Aku sadar, jika berbohong hanya aku yang terluka, mungkin Rhemi juga. Tapi jika tidak, semua akan terluka. Tapi bagaimana dengan shinta ? Pasti dia lebih terluka, mengetahui suaminya mencintai wanita lain.

3

Ku pejamkan mata malam itu, ditengah gelegar petir dan dentikan hujan deras di luar. Namun masih terasa sulit aku terlelap, kelopak mata ini gemetar, seakan menolak ku pejamkan. Akhirnya terpaksa aku akhiri perjuanganku menembus alam mimpi. Ku terbangun dari tempat tidurku, bergegas duduk dikursi samping tempat tidurku dengan menatap cermin. Tak ada rasa takut saat itu, padahal guntur terus menggelegarkan amarahnya. Tak terasa aku tertidur dikursi dengan wajah yang tertopang dimeja hingga adzan subuh berkumandang. Ku akhiri semua mimpi, bergegas bersihkan diri dan shalat subuh. Setelah selesai, tiba-tiba pertanyaan itu kembali terngiang ditelingaku "Aku mohon. . . Katakan kau membencinya". Huft. . . Hati ini gemetar saat mengingat itu. 2 hari berlalu, dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyayat kalbu, yang patahkan semua rasa rindu. Akhirnya ku tekadkan dalam hati, "Demi makhluk Tuhan yang tak berdosa nanti, ku ikhlaskan dia membenciku karena kemunafikanku". Kalimat itu yang terus ku lantunkan dipikiranku. Tepat tanggal 20 Januari 2010, ku bergegas pergi menemui Remi dikantornya. Dengan hati yang gelisah gak karuan, dengan tetes mata yang terus membendung dikelopak mataku, dengan rasa perih sekaligus sesak didadaku, aku terus ucapkan "Aku bisa Meski akan terluka". Tak kuasa ku menyetir mobil sendiri, karena jari-jariku terus bergetar. Akhirnya ku naik taxi. Sesampainya di depan kantornya, tiba-tiba tekadku melemah, rasanya tak sanggup ku pijakkan kaki menuju hadapannya. Tapi tetap saja aku harus melupakannya, aku langkahkan kaki dengan menahan air mata. Setibanya direceptionist, ku tanyakan ruangan Remi. Setelah itu ku teruskan langkahku untuk menemuinya, namun belum sampai ku di depan ruangannya, ku lihat sosok Remi yang begitu ku rindukan, tengah berdiri di depan karyawannya. Entah sedang apa, aku gak tahu. Huft. . . Tak mampu ku angkat kaki untuk melanjutkan langkah, rasanya lemas sekali, ingin saja aku berlari dan memeluk erat raganya, namun aku gak bisa. Ingin saja ku berdiri tegar dihadapannya, dan katakan "Aku merindukanmu" dengan tersenyum, tapi gak mungkin. Jantungku berdegup tak beraturan, tak sanggup melihat raut wajah kehancurannya, ketika aku harus katakan "Aku membencimu". Bagaimana mungkin, setelah sekian lama tak jumpa, tiba-tiba aku hadir dan katakan semua itu. Terdiam sebentar menatap sosok itu, tiba-tiba ada karyawan menyapaku "mencari siapa mbak ?", "A. . .aku. . . gak cari siapa-siapa koq, maaf permisi" jawabku gugup dan bergegas kembali, karena aku tak mungkin mengatakannya, sedang air mata tak sanggup lagi ku tahan. Belum jauh aku pergi meninggalkan kantor. Kalimat "Aku harus katakan sekarang, sebelum rindu semakin menumpuk, dan sebelum luka membusuk". Akhirnya ku berpikir "jika aku tak mampu mengatakan dihadapannya, kenapa tak lewat telpon saja ?". Akhirnya ku ambil Hp di dalam tasku, mulai ku mencari namanya DERI. . . Ya Deri. . . Nama yang pernah kami siapkan untuk anak kami kelak, jauh sebelum pernikahannya, yang belum sempat aku edit. Mulai aku memanggil. . . 2 panggilan tak terjawab, mungkin dia sibuk, tak sempat dia angkat. Ketika panggilan ke 3 akhirnya dia angkat. "Assalammualaikum. . ." "walaikumsalam Dev. . ." "kok kamu tahu ini aku ? Padahal nomorku udah ganti loh" jawabku dengat terkejut "suaramu masih khas ditelingaku, kemana aja kamu ? Kenapa gak pernah menghubungiku, aku kangen sama kamu" suaranya sedikit lirih. "aku juga. . ." jawabku pelan. "bagaimana ka. . ." "bagaimana pernikahanmu ?" tanyaku memotong kalimatnya. Tak ada jawaban waktu itu, yang terdengar hanya pijakan langkah kaki, entahlah dia mau kemana. "kenapa diam ?" tanyaku ulang. "tak seindah bersamamu. . ." jawabnya lirih sekali, diiringi suara hembusan angin. Pikirku dalam hati, aku gak bisa terlalu lama berbasa-basi. Belum sempat ku ucapkan, telponnya putus. Mungkin gangguan singnal. Sempat ku lihat ada seorang pria berdiri diatas gedung lantai teratas, beberapa detik setelah telponnya terputus. Pikirku "untuk apa pria itu disana seperti menggenggam hp yang sedang mencari signal, gak takut jatuh apa ? Mungkin broken heart kali, terus mau bunuh diri. Uh dasar bodoh kalau emang begitu". Lama sekali telponku gak nyambung-nyambung. "Signalnya gak ngedukung nih" kataku dalam hati, "lewat sms aja kali ya ? Daripada lama-lama, nanti malah terlambat". Akhirnya aku mulai mengetik SMS. "Re, sebenernya aku pengen ngomong langsung, tapi signalnya gak ngedukung, jadi lewat sms ja ya, aku cuma pengen bilang, AKU BENCI SAMA KAMU ! ! ! DAN AKU PENGEN KAMU LUPAIN AKU, KAYAK AKU LUPAIN KAMU." setelah beberapa menit ku kirim, akhirnya terkirim juga. Waktu itu dia gak ngerespon apapun, aku bergepas pulang, walau hati seperti teriris, jiwa seperti tersayat, tapi aku sadar, cepat atau lambat semua harus terakhiri. Belum sempat aku berhentikan taxi di depan kantornya, aku lihat ramai, ada banyak orang yang sedang berkerumun. Entah apa yang sedang mereka lihat ?. Dengan rasa penasaran, aku mencoba mendekati kerumunan itu. Aku semakin ingin tahu, sebelum aku dekat dengan kejadian itu, aku tanyakan pada salah seorang yang akan pergi setelah berkerumun. "Ada apa ya mas ? Kok rame " tanyaku penasaran. "Ada orang jatuh mbak dari lantai paling atas.". "bunuh diri maksudnya ?"."kurang tau juga mbak" "pasti pria itu !" kataku dihati. Tapi anehnya, kenapa saat aku tahu ada yang terjatuh, hatiku terasa sakit sekali, dag dig dug detak jantungkupun semakin kencang, perasaan tak nyaman terlintas dipikiranku. Padahal aku tak tahu siapa dia. Semakin penasaran ku coba mendekatinya. Dan ternyata, jauh dari dugaanku, ku lihat sosok pria yang sangat dekat denganku, tergeletak tak berdaya dihadapanku, sambil menggenggam erat hpnya. Aku lemas sekali melihatnya, semakin dekat, semakin tak kuasa aku berdiri. Ku angkat kepalanya ke atas pahaku, ku topang dia, dengan menatap perih batinku, ku lihat darah bergelinang disekitarnya, tak sanggup aku ingin memeluknya, ku belai pipinya dengan jemariku. Aku berharap ini mimpi, tapi rasa sakitnya, membuatku yakin ini kenyataan. Belum sempat ambulance datang, dia menatap tajam mataku, sambil berkata "jika nanti aku mampu bertahan, hanya ada satu alasan, KARENA AKU SELALU MENUNGGUMU" Nafasnya tak beraturan, tak lepas tatapanku dari sorot matanya, yang seakan berharap aku ada disampingnya, itu yang aku rasakan. Ku genggam erat jemarinya, tapi ambulance belum juga datang, padahal baru sebentar, namun terasa lama sekali, aku takut dia pergi, aku harus kehilangannya lagi, apa lagi untuk selamanya, AKU GAK SIAP ! ! !. Selang beberapa detik sebelum ambulance datang, ku lihat dia menghembuskan nafas terakhirnya diiringi detak jantung penghabisannya. Hanya satu kata yang mampu ku Teriakan sambil memeluk erat raganya, seakan ku tak mau melepasnya "TIDAAAAAAAAAAAKKK. . . .!" riak tangis tak mampu ku tahan, entah apa rasanya saat itu, semua bercampur dalam angan tak menentu. "semua ini salahku !" gentak ku dalam hati. Setibanya dirumah sakit, ku lihat shinta buru-buru mendekati Remi, dengan nafas tak karuan, dia terus menangis. Ada kebencian ketika menatapku, namun hanya tangis yang dia ekspresikan. Tak lama setelah dia memeluk jasad Remi. Tiba-tiba dia kesakitan sambil memegang perutnya, dan aku mencoba menahannya agar tak terjatuh, namun dia menolak bantuanku. Susterpun bergegas menolongnya. Aku hanya bisa melihat kesakitannya dari kejauhan, tapi aku menunggu di depan ruang UGD, khawatir dengan keadaan Shinta. Diiringin kesedihan atas kepergian cinta yang selalu ku rindu, aku terlelap dalam kekhawatiran. Beberapa saat aku menunggu, ku dengar suara khas tangis bayi saat baru dilahirkan, setelah itu dokterpun keluar dari ruang UGD tersebut. Langsung saja ku mendekati dokter itu. Ku lihat raut wajah yang tenang waktu itu sambil berkata "kamu saudaranya ?". "bu. . . Bukan dok, saya sa. . . Sahabat suaminya". "suaminya mana ?". Terdiam aku sejak dan ku katakan "meninggal barusan dok". "saya ikut berduka, tapi sanak saudara lainnya ada ?"."mereka sibuk dok". "oh. . . Sebenarnya ada hal penting yang harus disampaikan mengenai ibu shinta". "beritahu saya dok, biar saya yang nanti menyampaikan ke keluarganya". "baiklah. . . Ibu shinta telah melahirkan bayi laki-laki, tapi sayangnya. . . .". "Ada apa dok ? Katakanlah. . . .". "Ibu Shinta tak bisa bertahan setelah melahirkan, saya ikut berduka". "jadi. . . Shinta meninggal dok ?" tanyaku lirih. . . Dan dokterpun hanya mengangguk dengan memejamkan mata, tanda ia ikut bersedih. Ku lihat bayi mereka terlelap diruangannya, ku tatap penuh rasa sedih. "ya Allah. . . . Betapa kasihannya bayi itu, sendiri disaat dia membutuhkan belai kasihsayang ke dua orang tuanya. . . Dan semua itu karena, jika saja aku berani mengatakan dihadapannya, mungkin takan begini jadinya." satu hari setelah kepergian Remi dan Shinta, aku bersumpah "aku akan menjaga anak mereka, hingga kelak anak ini dewasa, sebagai ucapan maaf terhadap Shinta, dan sebagai ganti rasa cintaku terhadap Remi". Tak pernah ku beritahu keluarga mereka tentang kehadiran cucu mereka, ketika aku tahu, mereka tak tahu mengenai kehamilan Shinta, keluarga merekapun hanya datang ketika acara pemakaman Shinta dan Remi. Pemakaman tersebut diiringi riak tangis keluarganya, dan aku hanya bisa melihat dari ke jauhan. Karena aku tak mau merusak suasana, dengan adanya aku disana, keluarga Remi takan diam, mungkin mencaci dan mengusirku pergi. Setelah kejadian itu. Kini aku tak lagi sendiri, tak lagi merasa kesepian. Meski kadang ada perih ketika menatap wajah anaknya, namun aku yakin ada cinta disenyuman anaknya yang mirip dengan senyumannya.

Sumber: google.com

0 komentar:

 
Blogger Templates by Wishafriend.com